DINAR YANG BERANAK DIRHAM

Seorang anak perempuan datang kepada Asy'ab untuk menitipkan uang satu dinar. Oleh Asy'ab uang itu disimpan dibawah kasur. Di sampingnya ia taruh pula uang satu dirham. Beberapa hari kemudian anak perempuan itu kembali lagi untuk mengambil uangnya.

"Mana uangku satu dinar?" tanyanya.
"Itu aku simpan dibawah kasur. Malahan sudah beranak satu dirham," Jawab Asy'ab.

Anak perempuan tadi hanya mengambil yang satu dirham. Sementara uang satu dinar ia tinggalkan dengan harapan akan beranak lagi. Selanjutnya Asy'ab meletakkan lagi satu dirham dibawah kasur. Beberapa hari kemudian anak perempuan itu datang. Ia merasa senang mendapati uangnya beranak satu dirham lagi. Kejadian itu berulang sampai 4 kali. Saat kedatangan yang ke lima ia terperanjat dan heran melihat Asy'ab menangis. Ia menghampirinya.

"Kenapa kamu menangis?" tanyanya
"Dinarmu meninggal dunia ketika melahirkan," jawab Asy'ab.
"Bagaimana Dinar bisa meninggal?" tanyanya.
"Dasar perempuan tolol! kalau kamu percaya ia dapat melahirkan, kenapa tidak percaya ia bisa meninggal?!" Kata Asy'ab.

(Sumber: Kitab Nihayat al-Arb oleh an-Nuwairi)

PENJUAL MINYAK WANGI DAN SEUNTAI KALUNG

Seorang laki-laki tiba di Baghdad dalam perjalanannya menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ia membawa seuntai kalung senilai seribu dinar. Ia sudah berusaha keras untuk menjualnya, namun tidak seorangpun yang mau membelinya. Akhirnya ia menemui seorang penjual minyak wangi yang terkenal baik, kemudian menitipkan kalungnya. Selanjutnya ia meneruskan perjalanannya.
Selesai menunaikan ibadah haji ia mampir di Baghdad untukmengambil kembali kalungnya. Sebagai ucapan terimakasih ia membawakan hadiah untuk penjual minyak wangi itu.
“Saya ingin mengambil kembali kalung yang saya titipkan. Dan ini sekedar hadiah buat Anda,” katanya.
“Siapa kamu? Dan hadiahj apa ini?” Tanya penjual minyak wangi.
“Aku pemilik kalung yang dititipkan pada Anda,” jawabnya mengingatkan.
Tanpa banyak bicara, penjual minyak wangi menendangnya dengan kasar, sehingga ia hamper jatuh terjerembab dari teras kios, seraya berkata:
“Sembarangan saja kamu menuduhku seperti itu.”
Tidak lama kemudian orang-orang berdatangan mengerumuni pak haji yang malang itu. Tanpa tahu persoalan yang sebenarnya, mereka ikut menyalahkannya dan membela penjual minyak wangi.
“Baru kali ini ada yang berani menuduh yang bukan-bukan kepada orang sebaik dia,” kata mereka.
Pak haji bingung. Ia mencoba memberikan penjelasan yang sebenarnya. Tetapi mereka tidak maumendengar. Bahkan mereka mencaci maki dan memukulinya sampai babak belur dan jatuh pingsan. Begitu siuman, ia melihat seorang berada didekatnya.
“sebaiknya kamu temui saja Sultan Buwaihi yang adil. Ceritakan masalahmu apa adanya. Saya yakin ia akan menolongmu,” kata orang yang baik itu.
Dengan langkah tertatih-tatih pak haji yang malang ini menuju tempat tinggal Sultan Buwaihi. Ia ingin meminta keadilan. Ia menceritakan dengan jujur semua yang telah terjadi.
“Baiklah, besok pagi-pagi sekali pergilah kamu menemui penjual minyak wangi itu ditokonya. Ajak ia bicara baik-baik. Jika ia tidak mau, duduk saja didepan tokonya sepanjang hari dan jangan bicara apa-apa dengannya. Lakukan itu sampai tiga hari. Sesudah itu aku akan menyusulmu. Sambut kedatanganku biasa-biasa saja. Kamu tidak perlu memberi horamt padaku kecuali menjawab salam serta pertanyaan-pertanyaanku,” kata Sultan Buwaihi.
Pagi-pagi buta Pak haji sudah tiba ditoko penjual minyak. Ia minta izin bicara, tetapi ditolak. Maka seperti saran Sultan Buwaihi, ia lalu duduk didepan toko selam tiga hari, dan tutup mulut. Pada hari keempat, Sultan dating dengan rombongan pasukan cukup besar.
“Assalamu’alaikum,” kata sultan.
“Wa’alaikum salam,” jawab Pak Haji acuh tanpa bergerak.
“Kawan, rupanya kamu sudah tiba di Baghdad. Kenapa Anda tidak singgah ditempat kami? Kami pasti akan memenuhi semua kebutuhanmu,” kata Sultan.
“Terima kasih,” jawab pak haji acuh, dan tetap tidak bergerak.
Saat sultan terus menanyai Pak Haji ini, rombongan pasukan yang berjumlah cukup besar itu majumerangsak. Karena takut dan gemetar melihatnya, penjual minyak wangi jatuh pingsan. Begitu siuman, keadaan disekitarnya sudah lengang. Yang ada hanya pak haji, yang masih tetap duduk tenang didepan toko. Penjual minyak wangi menghampirinya dan berkata:
“Sialan! Kapan kamu titipkan kalung itu kepadaku? Kamu bungkus dengan apa barang tersebut? Tolong Bantu aku mengingatnya.” Pak haji tetap diam saja. Ia seolah tidak mendengar semuanya. Penjual minyak wangi sibuk mondar-mandir kesana-kemari mencarinya. Sewaktu ia mengangkat dan membalikkan sebuah guci, tiba-tiba jatuh seuntai kalung.
“Ini kalungnya. Aku benar-benar lupa. Untung kamu mengingatkan aku,” katanya.
(Sumber:Kitab Akhbar al-Adzkiya oleh Ibnu al-jauzi).

Reblog this post [with Zemanta]

HAKIM SYURAIH DAN PUTERANYA

Diceritakan, pada suatu hari putera hakim Syuraih berkata kepada ayahnya:
“Ayah, aku punya masalah dengan seseorang. Tolong ayah dengar dulu permasalahannya. Jika menurutmu aku yang benar, aku bermaksud membawanya kepengadilan. Tetapi jika sebaliknya, aku akan menyelesaikannya secara damai.”
Setelah mendengar permasalahannya, hakim Syuraih tahu bahwa puteranya ada dipihak yang salah. Namun ia tidak memberitahukannya secara terus terang. Bahkan sebaliknya ia mendorong puteranya untuk maju ke pengadilan.
“Perkarakan ia ke pengadilan,” katanya,
Dalam siding pengadilan hakim Syuraih menyatakan puteranya kalah dalam perkara. Tentu saja ini membuat puteranya kecewa dan berang. Ia merasa ditipu oleh ayahnya sendiri. Begitu keduanya sama-sama tiba dirumah, sang putera menggerutu melampiaskan kekecewaannya:
“Kalau saja bukan karena nasehat ayah, aku tidak mau membawa perkara itu kepengadilan. Ayah telah mempermalukan aku.”
“Dengar, puteraku. Di dunia ini kamu adalah orang yang paling aku cintai. Tetapi Allah jauh lebih aku cintai. Seandainya aku berterus terang bahwa kamu dipihak yang salah, aku khawatir kamu akan berdamai dengan cara menyuap orang yang sedang punya masalah denganmu. Dan itu sama sekali tidak bias dibenarkan, puteraku,” jawab hakim Syuraih.
(Sumber: Kitab Al-Thabaqat al-kubra oleh Muhammad bin Sa’ad).

Reblog this post [with Zemanta]