AL-MUTANABBI DAN PENJUAL SEMANGKA

Seseorang mencela al-mutanabbi karena kekikirannya:”Dimana-mana kamu dikenal sebagai orang yang sangat kikir. Semua oran tahu, sifat kikir itu amat buruk. Namun kamu lebih buruk lagi, karena syairmu sendiri mengecam kekikiran dan memuji-muji kedermawanan. Kamu oran gyang sok baik. Kamu munafik.”
“sifat kikir ini ada sebabnya,” jawab al-mutanabbi dengan tenang,”Begini ceritanya. Ketika kecil aku pernah bepergian dari kufah ke Baghdad. Aku membawa bekal uang sebanyak lima dirham yang aku bungkus dalam selembar sapu tangan. Begitu melewati pasar Baghdad aku tertarik melihat lima butir buah semangka besar yang dipajang disebuah kios. Aku ingin membelinya dengan uang yang aku bawa. Akupun menghampirinya.”
“Berapa harga buah semangka ini?” tanyaku.
“pergi sana! Buah semangka ini bukan makananmu,” jawab si pedagang semangka itu dengan acuh tak acuh dan kasar.
“Jangan kasar begitu,” kataku mencoba menyabarkannya.”Bilang saja berapa harga yang pantas.”
“sepuluh dirham,” jawabnya.
Karena terperangah oleh tawarannya yang cukup tinggi itu aku gugup aku berdiri bingung. Aku sodorkan semua uangku, tetapi ia tidak mau menerimanya.
Pada saat itu mendadak muncul seseorang berpenampilan saudagar, dari sebuah warung dan hendak pulang kerumahnya. Pedagang semangka serta merta keluar dari kiosnya dan menghadang orang itu.
“Tuan aku punya semangka segar-segar. Jika tuan berkenan membelinya, aku bawakan sampai kerumah, Tuan.” Katanya dengan amat ramah dan tergopoh-gopoh.
“Berapa harganya?” Tanya orang itu.
“Lima dirham,” jawab sipedagang semangka.
“Dua dirham saja,” tawarnya.
“Baiklah,” jawabnya setuju.
Setelah menerima uang dua dirham ia lalu membantu membawakan semangka seperti yang telah ia janjikan. Tidak lama kemuadian ia sudah kembali lagi kekiosnya dengan wajah berseri-seri.
Karena heran, aku menghampirinya dan berkata:”Hai, kamu ini benar-benar dungu. Aku berani bayar lima dirham untuk lima semangka, tetapi kamu malah jual dengan harga dua dirham dan kamu antar lagi kerumahnya.”
“Diam, kamu! Asal kamu tahu, orang itu punya seratus ribu dinar,” jawabnya.
“Nah, sejak itu aku tahu bahwa untuk dihormati, seseorang harus mempunyai uang sebesar seratus ribu dinar. Dan aku akantetap seperti yang kamu lihat selama ini sampai akumendengar orang-orang bilang aku sudah punya uang sebanyak itu.”
(Sumber: Kitab al-shubhu al-munbi an-Haitsiyat al-Mutanabbi karya Yusuf al-Badi’i).

Reblog this post [with Zemanta]

Rumah Kita

Diceritakan oleh Ibnu Darraj al-Thufaili:
Aku sedang berjalan bersama puteraku yang masih kecil. Kami berpapasan dengan rombongan pengantar jenazah. Tepat dibelakang keranda, kami melihat seorang wanita menangis seraya berkata:" Kami sekarang tengah membawamu ke sebuah rumah yang lantainya becek, tak beralas, gelap gulita, tidak punya ruang tamu, tidak tersaji kue, dan tidak ada airnya."
"Ayah mereka pasti sedang membawa jenazah itu ke rumah kita," kata puteraku dengan polos.
(sumber: kitab al-aghani oleh Abdul Faraj al-ashfahani)

Reblog this post [with Zemanta]

Si Buta dan Makelar Ternak

Diceritakan oleh al-Haitsam bin Adi:
Disudut pasar ternak di kota Kuffah, seorang lelaki buta menghampiri seorang makelar ternak.
"Tolong bantu carikan aku seekor keledai yang bertubuh tidak terlalu kecil, tetapi juga tidak terlalu besar, yang berlari cepat dijalan sepi, yang berjalan lambat ditengah keramaian, yang bersabar jika kekurangan makan, yang mau berterimakasih jika makanannya berkecukupan, yang bersemangat jika aku naiki sendiri, dan yang tidur jika dinaiki orang lain," katanya.
"Sabar, kawan. Nanti jika Allah telah mengubah muka seorang hakim menjadi keledai, insya Allah kamu akan mendapatkan keledai yang kamu inginkan itu," jawab makelar ternak.
(sumber: kitab al-aqd al-Farid oleh ibnu Abdi Rabbih)

Reblog this post [with Zemanta]

Harun Al Rasyid dan hadiah penduduk khurasan

Suatu hari Yahya bin Khalid al-Barmaki mengendarai kuda bersama raja Harun al-Rasyid. Ditengah perjalanan raja melihat beberapa ekor onta membawa barang-barang bawaan cukup banyak.
"apa itu?" tanya raja
"Hadiah dari penduduk Khurasan buat yang Mulia yang dikirim gubernurnya Ali bin Isa bin Haman," jawab Yahya, ayah Fadhal bin Yahya al-Barmaki, mantan gubernur sebelumnya.
"Pada waktu puteramu masih berkuasa, dimana barang-barang itu disimpan?" tanya raja.
"Dirumah para pemiliknya," jawab Yahya.
Mendengar jawaban itu raja Harun al-Rasyid terdiam.
(sumber: Kitab Mu'jam al-Adibba' oleh Yaqub)

Reblog this post [with Zemanta]